>

Senin, 13 Juni 2016

Resensi Novel Bonsai Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng




Judul Novel : Bonsai Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng
Pengarang : Pralampita Lembahmata
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit: 2011
Tempat : Jakarta
Total : 520 Halaman



Resensi :


Novel ini adalah novel bertema Fiksi yang dikhususkan untuk membawa pembacanya tidak hanya membaca kisahnya saja namun, akan menemukan kisah-kisah yang belum pernah di temukan di dalam novel yang lain. Di dalam novel ini dikisahkan tentang hikayat seseoraang/keluarga cina benteng yang bernama Boenarman dalam lima generasi dalam rentang 100 tahun. Hikayat keluarga yang hancur lebur karena letusan Gunung Krakatau dan berhasil bangkit kembali diantara ombak besar perubahan jaman di indonesia.


Kisah lima generasi ini di ikat melalui kisah sebuah bonsai cemara yang pada suatu ketika Boenarman tersihir oleh pesona bonsai sehingga dia bermimpi untuk membangun sebuah monumen bagi keluarganya dalam wujud sebatang pohon kayu yang di kerdilkan.


Di novel ini ada seorang anak kecil yang pipinya merona seperti merah jambu yang bernama Feily, matanya selalu menatap bonsai tua yang meliuk batang pokoknya. dan Feily mempunyai seorang nenek yang bernama Meily, Meily bersyukur mempunyai cucu seperti Feily yan telah menunjukan kegandrungan pada pohon kayu yang di kerdilkan itu dan berkata "rasanya makin hatiku bahwa hatiku bahwa engkaulah yang akan mewarisi bonsai hinoki. Pada saat kelak akan kuungkapkan rahasia yang menyertai pohon kerdil itu sepanjang satu abad.".


Pada siang hari Meily meluncurkan mobilnya ke luar rumah, suasana tenang seperti biasa. Suasana di Jakarta yang terus menuntut Presiden Soeharto lengser dari jabatannya. Dan pada saat itu Meily melihat seseorang yang mengacungkan tinju,kayu, dan batu. Meily segera pergi menghindari tempat itu dengan segera dan tiba-tiba lengan dan tungkasnya terasa lemas. yang paling mengerikan dari itu semua adalah lolongan mereka, "Ayo, kita serbu cina! jarah tko cina! bakar semua bakar!" Satu pertanyaan bertalu-talu di benaknya: kenapa cina? Selama ini dia berserta Ayah-Ibunya di masa silam hingga anak-cucunya di masa kini bergaul akrab dengan suku-suku lain.


Dan disini penulis mengemasnya dalam bentuk dialog atau perenungan, sehingga penulis berhasil dalam penyampaiannya. Ada nilai-nilai kehidupan yang di sampaikan di novel ini seperti mengejar pendidikan,hemat,kerja keras, dan kesetiaan.


Nilai-nilai inilah melekat pada orang Cina Peranakan. Nilai-nilai inilah yang selama ini membuat Cina Peranakan berhasil keluar dari segala guncangan yang menerpa mereka. Di novel ini secara halus memasukan ajaran-ajaran Tao dan Konghucu yang merupakan akar dari nilai-nilai yang di terapkan.


Di novel ini juga menyampaikan bahwa Cina Benteng adalah Cina Peranakan yang sudah tercampur secara darah dan budaya dengan suku-suku setempat. Secara khusus di novel ini pada halaman 19 tentang Si Bunga Poeny dengan seorang suku mataram yang taat menjalankan ibadah islam. Kehadiran tokoh-tokoh lain di sekitar tokoh utama sangat membantu mengalirnya hikayat ini.


Hal yang kurang dari novel ini adalah penggambaran geografis tempat kejadian itu terjadi seperti Sungai Cisadane,Pasar-pasar, dan ruangan-ruangan. Jika di gambarkan lebih detail, maka kita akan mendapatkan kesan yang lebih mendalam tentang kisah kehidupan Cina Benteng di dalam novel ini

Senin, 30 Mei 2016

JOHN LIE PAHLAWAN NASIONAL PERTAMA BERETNIS TIONGHOA



Profil Tokoh :

John Lie bernama lengkap John Lie Tjeng Tjoan atau biasanya ia lebih dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma. Ia lahir di Manado, Sulawesi Utara pada 9 Maret 1911. Ia adalah seorang Laksamana Muda TNI Angkatan Laut dan ia adalah seorang Pahlawan Nasional pertama yang beretnis Tionghoa dan ia juga mendapat julukan "A Soldier With Bible", karena ia sangat religius dan selalu membawa Alkitab kemana pun ia ditugaskan.

Ia memiliki peran penting saat Perang Dunia II berakhir dan pada masa Indonesia Merdeka, dia memutuskan untuk bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum ia diterima di Angkatan Laut RI. Karena ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka tak membutuhkan waktu yang lama baginya untuk naik pangkat menjadi seorang Mayor dan diberi misi untuk menembus blokade Belanda.untuk menyelundupkan senjata, bahan pangan, dan lainnya.

Perjuangan John Lie tidaklah ringan, karena ia harus menghindari patroli Belanda dan menghadang gelombang samudera yang besar untuk ukuran kapal yang digunakan olehnya. Dalam melakukan tugasnya, John Lie menggunakan kapal kecil yang cepat yang diberi nama The Outlaw.

Pada tahun 1950 ketika dirinya berada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. John Lie juga memiliki andil dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku. Kemudian pada tahun 1966 tepatnya pada bulan Desember, John Lie mengakhiri pengabdiannya sebagai TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.

Karena kesibukannya dalam masa perjuangan Indonesia, John Lie baru menikah di usia yang sudah tidak muda lagi yaitu 45 tahun dengan Pdt. Margaretha Dharma Angkuw. Pada 30 Agustus 1966, John Lie mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma.

Pada tanggal 27 Agustus 1988 ia dipanggil Tuhan untuk beristirahat dengan tenang pada usianya yang ke 77 tahun karena stroke, dan ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Atas segala jasa dan pengabdian yang telah dilakukan olehnya pada negara, pada tanggal 10 November 1995 ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto, serta pada tanggal 9 November 2009 ia mendapat dua gelar dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu Bintang Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional Indonesia.


Pendapat Kelompok :
Perjuangan yang dilakukan oleh John Lie patut diberi apresiasi karena jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Karena jarang sekali ada seorang tokoh beretnik Tionghoa yang memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia.

Selain itu jarang sekali ditemukan seorang tokoh beretnis Tionghoa yang berprofesi sebagai TNI Angkatan Laut apalagi sampai ia memiliki pangkat yang tinggi yaitu Laksamana Muda. Karena yang biasanya kita ketahui etnis Tionghoa lebih identik dengan perdagangan dan lebih dikenal ahli dalam berdagang.

Sebagai warga Tionghoa, kita harus dapat mempertahankan nilai-nilai dari John Lie, seperti misalnya ia lebih mementingkan urusan masyarakat banyak dibandingkan dengan urusan pribadinya, buktinya ia rela menikah saat usianya 45 tahun.


Kenapa John Lie kurang dikenal?

Menurut kami ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa John Lie kurang dikenal oleh masyarakat. Seperti kurangnya pengetahuan akan sejarah bangsa Indonesia, hal ini dapat dibuktikan dari kurangnya membaca buku dan tidak mau memperdalam sejarah bangsa Indonesia. Sehingga tentu saja hal tersebut akan menghambat pengetahuan mereka dalam mengenal pahlawan-pahlawan yang pernah ikut serta dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Senin, 16 Mei 2016

Diskusi Kelompok

SOAL

1. Apa persamaan dan perbedaan dari agama Tao, Buddha, dan Kong Hu Cu?
2. Mengapa agama Kong Hu Cu dan Buddha identik dengan  orang Tionghoa?
3. Perlukah Kong Hu Cu menjadi agama? Berikan alasan!


JAWABAN

1. Menurut kelompok kami, persamaan dan perbedaan dari agama Tao, Buddha, dan Kong Hu Cu yaitu,
  • Persamaan
Ketiga agama tersebut bersarasal dari Timur dan lebih dipengaruhi oleh budaya dari Timur. Pada dasarnya ketiga agama tersebut sama, ketiganya tidak menekankan hanya pada satu Tuhan sebagai pribadi, tetapi Tuhan dalam ketiga agama tersebut disebut dengan Cosmos yang berarti Alam Semesta. Jadi ketiga agama yang telah disebutkan lebih berfokus pada bersatu dengan alam semesta, sehingga baik agama Tao, Buddha maupun Kong Hu Cu banyak melakukan persembahan dan ritual keagamaan sesuai kepercayaan yang mereka miliki.

  • Perbedaan
Dalam pengajarannya, ketiga agama ini menggunakan caranya masing-masing. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari kitab suci, tempat ibadah, pengikut, nilai yang diajarkan, dan tujuan hidup. Misalkan dalam segi kitab suci yang digunakan, Tao menggunakan Daodejing, Buddha menggunakan Tripitaka, dan Kong Hu Cu menggunakan Si Shu dan Wu Jing. Ada lagi dalam segi tmpat ibadah, Tao beribadah di Klenteng, Buddha di Vihara, dan Kong Hu Cu di Litang. Nilai dan tujuan hidup yang diajarkan pun berbeda satu sama lain. Tetapi pada dasarnya tujuan hidup dari semua agama adalah sama yaitu memperoleh hidup yang tenang dan damai di surga, namun praktek untuk mengamalkan perbuatannya saja yang berbeda-beda antara satu sama lain.


2. Menurut kelompok kami Kong Hu Cu dan Buddha identik dengan orang Tionghoa karena persebaran agama tersebut sebagian besar berasal dari Timur, sehingga agama ini agama ini lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Timur. Baik dalam ritual maupun upacara-upacara penting lainnya kebanyakan hampir sama dengan tradisi yang dilakukan oleh orang Tiongkok pada masa itu. Karena orang Tionghoa adalah sebutan bagi orang Tiongkok yang sudah berbaur dengan masyarakat yang ada di tanah air Indonesia, maka seringkali agama Kong Hu Cu dan Buddha dikatakan identik dengan orang Tionghoa, disamping itu, penganut kedua agama ini di Indonesia mayoritas adalah orang Tionghoa.


3. Menurut kelompok kami Kong Hu Cu perlu menjadi agama. Karena agama tersebu sudah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi sebuah agama di Indonesia. Syarat-syarat itu adalah memiliki Tuhan yang disembah, memiliki Kitab Suci, memiliki tempat ibadah, memiliki pengikut, memiliki nilai ajaran yang baik dan benar, serta memiliki tujuan yang jelas. Menurut kelompok kami, keenam syarat ini telah dimiliki oleh Kong Hu Cu, sehingga sudah seharusnya Kong Hu Cu mendapat pengakuan untuk menjadi agama resmi di Indonesia bahkan menjadi salah satu agama resmi di dunia.

Senin, 02 Mei 2016

RESENSI FILM NGENEST



Judul : Ngenest (2015)
Film Tayang : 30 Desember 2015
Genre : Komedi, Drama
Penulis Naskah : Ernest Prakarsa
Sutradara : Ernest Prakarsa
Produser : Chand Parwez Servia, Fiaz Servia
Produksi : Starvision Plus
Rating : Remaja (R-13+)
Pemain : Ernest Prakarsa, Kevin Anggara, Morgan Oey, Brandon Nicholas Salim, Lala Karmela, Marvel, Winson, Ardit Erwanda, Fico Fachriza, Bakriyadi Arifin, Amel Carla, Ferry Salim, Olga Lydia, Arie Kriting, Lolox, Angie Ang, Ge Pamungkas, Muhadkly Acho, Awwe, Chika Jessica dll.





Film ini menceritakan tentang seorang pria keturunan Tionghoa yang selalu dibully oleh teman-temannya. Ernest (Kevin Anggara/Ernest Prakarsa) tak bisa memilih bagaimana dia dilahirkan. Tapi nasib yang menentukan, dia terlahir di sebuah keluarga Tiongkok. Tumbuh besar di masa Orde Baru, dimasa diskriminasi terhadap etris Tiongkok masih begitu kental.

Bullying menjadi makanan sehari-hari, selain itu dia juga berupaya berbaur dengan teman-teman pribuminya meskipun ditentang oleh sahabat karibnya, Patrick (Brandon Salim/Morgan Oey). Sayangnya, berbagai upaya yang dia lakukan tidak juga berhasil, hingga Ernest sampai pada kesimpulan bahwa cara terbaik untuk membaur dengan sempurna adalah dengan menikahi seorang perempuan pribumi.

Saat kuliah di Bandung, Ernest pun berkenalan dengan Meira (Lala Karmela). Meski melalui tentangan dari Papa Meira (Budi Dalton), tapi akhirnya mereka berpacaran. Tak lama akhirnya mereka menikah dengan adat Tiongkok demi membahagiakan Papa dan Mama Ernest (Ferry Salim dan Olga Lidya).

Namun, meski telah menikah dengan perempuan pribumi, ternyata tak menyelesaikan pergumulan Ernest. Dia justru dirundung ketakutan, bagaimana jika kelak anaknya terlahir dengan penampilan fisik persis dirinya ? Lalu mengalami derita bullying persis dirinya ? Ketakutan ini membuat Ernest menunda-nunda untuk memiliki anak.

Film Ngenest : kadang hidup perlu ditertawakan merupakan film pertama Ernest Prakasa. Ia mengawali karirnya sebagai stand-up comedian dan penulis, seperti halnya Raditya Dika. Namun, film ini berbeda dengan film Radittya Dika yang biasanya lebih menceritakan tentang  masalah percintaan atau mencari jodoh. Film garapan Ernest Prakasa ini lebih menarik karena mengangkat tentang masalah sosial yang terjadi.

Film Ngenest bisa dibilang merupakan curahan hati Ernest karena ia sering mendapat perlakuan tidak adil sejak ia lahir, karena dia terlahir sebagai etnis Tionghoa.

Film ini banyak menampilkan fakta-fakta yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Mulai dari cara mengejek, baik mengejek secara fisik, sikap, dan kepercayaan yang dianut oleh etnis Tionghoa. Dengan kata lain, sebenarnya film ini diputar untuk menyentil secara halus orang-orang yang masih berperilaku demikian, tanpa menyinggung perasaan mereka.

Bila dilihat dari alur atau plot yang digunakan, film Ngenest menggunakan alur maju yang memiliki awalan dan akhiran yang sangat berirama atau selaras. Sehingga film ini mudah untuk dimengerti oleh para penikmat film yang menonton.

Akting yang ditampilkan oleh para pemain pun cukup baik. Adanya chemistry antara Ernest dan Lala membuat film ini semakin menarik, dan yang tak disangka adalah kemapuan akting Morgan yang dapat melucu, serta didukung oleh kelucuan para komika.

Sudah saatnya wawasan masyarakat Indonesia terbuka. Karena baik warga Pribumi maupun warga Tionghoa semuanya adalah warga negara Indonesia, sehingga tidak perlu membeda-bedakan secara SARA. Karena kita semua tidak ada bedanya dimata sang pencipta kita yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Singkatnya, film Ngenest ini berhasil mengangkat masalah sosial yang terjadi di masyarakat, dengan adanya bumbu komedi yang dapat mengocok perut, maka film ini menjadi salah satu tontonan yang wajib untuk dilihat.

Selasa, 05 April 2016

RESENSI FILM CHINA BENTENG - A POETRY

                                                              China Benteng - A Poetry


 Judul               : China Benteng – A Poetry

Di Tangerang ada sekelompok etnis yang dapat dikatakan menarik yaitu etnis Cina Benteng. persebaran Cina Benteng di Tangerang cukup banyak, seperti di Mauk, Neglasari, Karawaci dan tempat lainnya. Yang paling menonjol adalah masyrakat Cina Benteng yang tinggal di tepi sungai Cisadane. Umumnya, mereka memiliki kulit sawo matang atau gelap, mata tidak terlalu sipit, tidak bisa berbahasa Cina dan perekonomian yang kurang memadai dibandingkan dengan etnis Tionghoa yang lain yang ada di Indonesia.

Warga Cina Benteng dikenal hidup sebagai petani, pedagang, peternak, nelayan. Sebagian bersuami/istri penduduk asli dari Indonesia, sehingga tradisi mereka telah berakulturasi dengan tradisi kaum Pribumi, tak terkecuali dalam bidang kesenian seperti cokek dan gambang kromong.

Kini, tanpa kita sadari keberadaan warga Cina Benteng seringkali tersingkirkan dari kehidupan hiruk pikuk kota Tangerang. Padahal, banyak hal yang dapat dibanggakan dari keturunan Etnis Tionghoa ini. Mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi Tiongkok. Kehadirannya dapat dijumpai dengan “meja abu” yang terletak di dalam rumah masing-masing, dimana para anggota dapat menjalankan ritual penghormatan kepada arwah keluarga yang sudah meninggal. Selain itu, upacara pesta perkawinan pasangan Cina Benteng dilakukan sebanyak dua kali. Pesta tersebut dibedakan berdasarkan perbedaan makanan yang disajikan. Bagi non-Muslim biasanya disajikan babi panggang Tangerang dan minuman Bir. Pada pesta perkawinan juga dimeriahkan dengan musik Gambang Keromong dengan lagu-lagu favorit seperti : Cinte manis berdiri, pecah piring, semar gurem dan onde-onde, dsb. Disertai pula tarian Cokek yang umumnya datang dari daerah sekita Krawang yang dianggap belum “afdol” jika tidak ada penari cokek yang terlihat sensual itu

1. Peh Cun.

Warga Cina Tangerang masih merayakan tradisi Peh Cun diisi dengan perlombaan perahu naga di Sungai Cisadane yang membentang tenang. Peh Cun merupakan sebuah tradisi yang diadakan sejak tahun 1911 di Indonesia yang sempat terhenti pada tahun 1965 akibat geger politik.

Perayaan Cap Go Meh menjadi ciri khas warga Tangerang yang dirayakan sebagai upaya pengenalan keagamaan dan keyakinan Warga Tiongjoa terhadap budaya Tiongkok yang sudah dilaksanakan secara turun temurun.

Bertempat di Klenteng Boen Tek Bio, yang berada di Jalan Bakti No.14 Kawasan Pasar Lama, Tangerang, acara dimeriahkan dengan ttarian Barongsai yang lucu dan energik, tarian liong yang meliuk-liuk diiringi tabuhan genderang, serta perpaduan suara gong dan gemerincing yang menambah kemeriahan acara tersebut.

2.     Cio Tao

Cio Tao merupakan pernikahan berdasarkan adat di kebudayaan masyarakat Chinese. Biasanya kegiatan Cio Tao ini diadakan di rumah pengantin masing-masing di pagi hari, sepagi mungkin. Mengapa? Karena konon, aapabila melakukan adat ini di siang hari, rezeki untuk pengantin itu bisa habis.. Oleh karena itu, Cio Tao harus dilakukan pagi hari.

Di dalam kegiatan Cio Tao ada beberapa ritual yang dilakukan. Seperti contohnya sembahyang, menginjak nampan yang berwarna merah dan bergambar Yin dan Yang, menyisir rambut, sawer uang, dan masih banyak lagi. Berikut ini akan saya bahas satu per satu.

Pertama-tama biasanya orang tua dari mempelai akan melakukan sembahyang terhadap leluhur, kemudian dilanjutkan dengan penuangan arak sebanyak 3 kali ke lantai.
Setelah orang tua mempelai yang melakukan sembahyang, barulah si mempelai yang melakukan sembahyang kepada leluhur.

Setelah itu pengantin akan dibawa masuk dan diminta untuk duduk di sebuah kursi dengan kakinya berada di dalam sebuah nampah. Nampah yang berwarna merah dan terdapat gambar Yin dan Yang. Ketika pengantin menginjak nenampah itu, dilarang menggeser nenampah itu sama sekali.

Setelah itu ada seorang anak kecil dari pihak pengantin, yang dinamakan secek. Secek ini diminta untuk menyisir rambut pengantin dari bawah kepala sampai ke kaki. Konon katanya mengapa harus disisir sampai ke kaki? Agar suatu saat dalam menjalani bahtera rumah tangga, apabila ada cekcok sedikit bisa langsung diluruskan saja dengan baik-baik.

Setelah itu pengantin akan duduk bersama secek dan memakan semangkuk nasi dengan 12 macam lauk pauk yang berbeda menggunakan sumpit.

Nah, sehabis sesi makan nasi dengan 12 lauk pauk ini, dilanjutkan dengan memakan nasi dengan gula, nah pas makan gnasi cocol gula ini disuapin sama orang tua masing-masing mempelai. Mungkin hal ini dimaksudkan agar nanti selama menjalani bahtera rumah tangga manis-manis terus jalannya seperti gula..
Selanjutnya, dilanjutkan dengan acara saweran.. Pengantin akan berjalan berdampingan melalui pintu masuk, kemudian orang yang paling tua disana akan melemparkan uang receh, nah barang siapa orang yang bisa mengambil uang recehnya, itu menjadi hak mereka. Konon, uang itu lebih baik agar tidak dibelanjakan, karena bisa mendatangkan hoki.

Kemudian, pengantin akan saling suap-menyuapi semangkuk onde. Onde makanan yang terbuat dari sagu dan tepung terigu, dilengkapi dnegan gula cair hingga rasanya manis.

Acara yang terakhir adalah pengantin akan bersembahyang kepada leluhur secara bersama-sama atau berdampingan. Nah, dengan menjalani beberapa ritual Cio Tao tersebut, secara adat mereka sudah dianggap sah sebagai suami istri.


3.  Anak Wayang 

Tari Cokek termasuk jenis tari-tarian yang lazim dipertunjukan masyarakat Banten di kawasan Tangerang. Tarian Cokek pertama kali diperkenalkan seorang tuan tanah keturunan Tionghoa, Tan Sio Kek. Menurut kisahnya, Tan Sio Kek kerap menyelenggarakan pesta di kediamannya dan mengundang orang para musisi dari daratan Cina dengan membawa alat musik dari negara asalnya.

Alat musik yang dimainkan musisi dari Cina yakni Rebab Dua Dawai, selain itu ketiga musisi itu memainkan alat tradisional Tangerang seperti Seruling, Gong dan kendang. Untuk meramaikan suasana, Tan Sio Kek menampilkan tiga perempuan menari mengikuti alunan musik dari para musisi. Para tamu yang menghadiri pesta itu menyebut penari-penari sebagai Cokek. Namun, ada meyakini Cokek itu nama dari salah satu anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itu masyarakat Tangerang, Banten mulai kenal Tari Cokek.

Tarian Cokek biasanya dimainkan oleh sepuluh orang penari wanita, dan tujuh orang laki-laki pemegang gamang kromong, alat musik yang mengiringinya. Tari Cokek merupakan jenis tarian khas yang berasal dari daerah Tangerang yang pada awalnya berkembang di daerah betawi. Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukkan hiburan saat warga Cina benteng menyelenggarakan acara, khususnya acara pernikahan. Oleh warga Tionghoa di Tangerang, Tari Cokek disebut sebagai tari penyambutan tamu.

Keunikan Tari Cokek terlihat pada gerakan tubuh penarinya yang bergerak perlahan-lahan sehingga mudah untuk diikuti oleh penonton. Gerakan tarian tari Cokek ini kemudian akan dilanjutkan dengan ajakan pada para penonton untuk ikut bergabung menari. Ajakan pada para penonton itu dilakukan dengan cara mengalungkan selendang ke leher sambil menariknya maju ke depan atau ke panggung.

Ajakan itu umumnya ditujukan kepada pemuka masyarakat atau orang kaya yang hadir pada acara itu. Proses menari bersama ini dilakukan berdekatan antara penari dengan penonton, tetapi tidak saling bersentuhan.

Tak dapat dipungkiri, Cina Benteng memiliki banyak budaya dan tradisi, tetapi sering kali terlupakan, bahkan oleh warga Tionghoa sendiri. Sehingga dengan film ini, diharapkan masyrakat dapat lebih mengenal sebagian kecil dari budaya Cina Benteng yang masih ada di Indonesia hingga saat ini.