>

Selasa, 05 April 2016

RESENSI FILM CHINA BENTENG - A POETRY

                                                              China Benteng - A Poetry


 Judul               : China Benteng – A Poetry

Di Tangerang ada sekelompok etnis yang dapat dikatakan menarik yaitu etnis Cina Benteng. persebaran Cina Benteng di Tangerang cukup banyak, seperti di Mauk, Neglasari, Karawaci dan tempat lainnya. Yang paling menonjol adalah masyrakat Cina Benteng yang tinggal di tepi sungai Cisadane. Umumnya, mereka memiliki kulit sawo matang atau gelap, mata tidak terlalu sipit, tidak bisa berbahasa Cina dan perekonomian yang kurang memadai dibandingkan dengan etnis Tionghoa yang lain yang ada di Indonesia.

Warga Cina Benteng dikenal hidup sebagai petani, pedagang, peternak, nelayan. Sebagian bersuami/istri penduduk asli dari Indonesia, sehingga tradisi mereka telah berakulturasi dengan tradisi kaum Pribumi, tak terkecuali dalam bidang kesenian seperti cokek dan gambang kromong.

Kini, tanpa kita sadari keberadaan warga Cina Benteng seringkali tersingkirkan dari kehidupan hiruk pikuk kota Tangerang. Padahal, banyak hal yang dapat dibanggakan dari keturunan Etnis Tionghoa ini. Mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi Tiongkok. Kehadirannya dapat dijumpai dengan “meja abu” yang terletak di dalam rumah masing-masing, dimana para anggota dapat menjalankan ritual penghormatan kepada arwah keluarga yang sudah meninggal. Selain itu, upacara pesta perkawinan pasangan Cina Benteng dilakukan sebanyak dua kali. Pesta tersebut dibedakan berdasarkan perbedaan makanan yang disajikan. Bagi non-Muslim biasanya disajikan babi panggang Tangerang dan minuman Bir. Pada pesta perkawinan juga dimeriahkan dengan musik Gambang Keromong dengan lagu-lagu favorit seperti : Cinte manis berdiri, pecah piring, semar gurem dan onde-onde, dsb. Disertai pula tarian Cokek yang umumnya datang dari daerah sekita Krawang yang dianggap belum “afdol” jika tidak ada penari cokek yang terlihat sensual itu

1. Peh Cun.

Warga Cina Tangerang masih merayakan tradisi Peh Cun diisi dengan perlombaan perahu naga di Sungai Cisadane yang membentang tenang. Peh Cun merupakan sebuah tradisi yang diadakan sejak tahun 1911 di Indonesia yang sempat terhenti pada tahun 1965 akibat geger politik.

Perayaan Cap Go Meh menjadi ciri khas warga Tangerang yang dirayakan sebagai upaya pengenalan keagamaan dan keyakinan Warga Tiongjoa terhadap budaya Tiongkok yang sudah dilaksanakan secara turun temurun.

Bertempat di Klenteng Boen Tek Bio, yang berada di Jalan Bakti No.14 Kawasan Pasar Lama, Tangerang, acara dimeriahkan dengan ttarian Barongsai yang lucu dan energik, tarian liong yang meliuk-liuk diiringi tabuhan genderang, serta perpaduan suara gong dan gemerincing yang menambah kemeriahan acara tersebut.

2.     Cio Tao

Cio Tao merupakan pernikahan berdasarkan adat di kebudayaan masyarakat Chinese. Biasanya kegiatan Cio Tao ini diadakan di rumah pengantin masing-masing di pagi hari, sepagi mungkin. Mengapa? Karena konon, aapabila melakukan adat ini di siang hari, rezeki untuk pengantin itu bisa habis.. Oleh karena itu, Cio Tao harus dilakukan pagi hari.

Di dalam kegiatan Cio Tao ada beberapa ritual yang dilakukan. Seperti contohnya sembahyang, menginjak nampan yang berwarna merah dan bergambar Yin dan Yang, menyisir rambut, sawer uang, dan masih banyak lagi. Berikut ini akan saya bahas satu per satu.

Pertama-tama biasanya orang tua dari mempelai akan melakukan sembahyang terhadap leluhur, kemudian dilanjutkan dengan penuangan arak sebanyak 3 kali ke lantai.
Setelah orang tua mempelai yang melakukan sembahyang, barulah si mempelai yang melakukan sembahyang kepada leluhur.

Setelah itu pengantin akan dibawa masuk dan diminta untuk duduk di sebuah kursi dengan kakinya berada di dalam sebuah nampah. Nampah yang berwarna merah dan terdapat gambar Yin dan Yang. Ketika pengantin menginjak nenampah itu, dilarang menggeser nenampah itu sama sekali.

Setelah itu ada seorang anak kecil dari pihak pengantin, yang dinamakan secek. Secek ini diminta untuk menyisir rambut pengantin dari bawah kepala sampai ke kaki. Konon katanya mengapa harus disisir sampai ke kaki? Agar suatu saat dalam menjalani bahtera rumah tangga, apabila ada cekcok sedikit bisa langsung diluruskan saja dengan baik-baik.

Setelah itu pengantin akan duduk bersama secek dan memakan semangkuk nasi dengan 12 macam lauk pauk yang berbeda menggunakan sumpit.

Nah, sehabis sesi makan nasi dengan 12 lauk pauk ini, dilanjutkan dengan memakan nasi dengan gula, nah pas makan gnasi cocol gula ini disuapin sama orang tua masing-masing mempelai. Mungkin hal ini dimaksudkan agar nanti selama menjalani bahtera rumah tangga manis-manis terus jalannya seperti gula..
Selanjutnya, dilanjutkan dengan acara saweran.. Pengantin akan berjalan berdampingan melalui pintu masuk, kemudian orang yang paling tua disana akan melemparkan uang receh, nah barang siapa orang yang bisa mengambil uang recehnya, itu menjadi hak mereka. Konon, uang itu lebih baik agar tidak dibelanjakan, karena bisa mendatangkan hoki.

Kemudian, pengantin akan saling suap-menyuapi semangkuk onde. Onde makanan yang terbuat dari sagu dan tepung terigu, dilengkapi dnegan gula cair hingga rasanya manis.

Acara yang terakhir adalah pengantin akan bersembahyang kepada leluhur secara bersama-sama atau berdampingan. Nah, dengan menjalani beberapa ritual Cio Tao tersebut, secara adat mereka sudah dianggap sah sebagai suami istri.


3.  Anak Wayang 

Tari Cokek termasuk jenis tari-tarian yang lazim dipertunjukan masyarakat Banten di kawasan Tangerang. Tarian Cokek pertama kali diperkenalkan seorang tuan tanah keturunan Tionghoa, Tan Sio Kek. Menurut kisahnya, Tan Sio Kek kerap menyelenggarakan pesta di kediamannya dan mengundang orang para musisi dari daratan Cina dengan membawa alat musik dari negara asalnya.

Alat musik yang dimainkan musisi dari Cina yakni Rebab Dua Dawai, selain itu ketiga musisi itu memainkan alat tradisional Tangerang seperti Seruling, Gong dan kendang. Untuk meramaikan suasana, Tan Sio Kek menampilkan tiga perempuan menari mengikuti alunan musik dari para musisi. Para tamu yang menghadiri pesta itu menyebut penari-penari sebagai Cokek. Namun, ada meyakini Cokek itu nama dari salah satu anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itu masyarakat Tangerang, Banten mulai kenal Tari Cokek.

Tarian Cokek biasanya dimainkan oleh sepuluh orang penari wanita, dan tujuh orang laki-laki pemegang gamang kromong, alat musik yang mengiringinya. Tari Cokek merupakan jenis tarian khas yang berasal dari daerah Tangerang yang pada awalnya berkembang di daerah betawi. Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukkan hiburan saat warga Cina benteng menyelenggarakan acara, khususnya acara pernikahan. Oleh warga Tionghoa di Tangerang, Tari Cokek disebut sebagai tari penyambutan tamu.

Keunikan Tari Cokek terlihat pada gerakan tubuh penarinya yang bergerak perlahan-lahan sehingga mudah untuk diikuti oleh penonton. Gerakan tarian tari Cokek ini kemudian akan dilanjutkan dengan ajakan pada para penonton untuk ikut bergabung menari. Ajakan pada para penonton itu dilakukan dengan cara mengalungkan selendang ke leher sambil menariknya maju ke depan atau ke panggung.

Ajakan itu umumnya ditujukan kepada pemuka masyarakat atau orang kaya yang hadir pada acara itu. Proses menari bersama ini dilakukan berdekatan antara penari dengan penonton, tetapi tidak saling bersentuhan.

Tak dapat dipungkiri, Cina Benteng memiliki banyak budaya dan tradisi, tetapi sering kali terlupakan, bahkan oleh warga Tionghoa sendiri. Sehingga dengan film ini, diharapkan masyrakat dapat lebih mengenal sebagian kecil dari budaya Cina Benteng yang masih ada di Indonesia hingga saat ini.

RESENSI TRAGEDI JAKARTA 1998



Resensi Tragedi Jakarta 1998



  

Judul : Tragedi Jakarta 1998 (Gerakan Mahasiswa Indonesia)
Produksi : Media Sindikasi                                                                               
Sutradara : Tino Saroenggalo

Menjelang jatuhnya Soeharto, Jakarta diwarnai merah darah mahasiswa. Tanggal 12 Mei 1998 beberapa Mahasiswa Universitas Trisakti menjadi korban penembakan aparat. Dimana hal tersebut memicu timbulnya gelombang kerusuhan yang memakan ratusan nyawa. Kondisi negara menjadi tidak stabil dan timbul “Gonjang-Ganjing” yang berakhir pada lengsernya presiden kedua Indonesia, yaitu Soeharto. Setelah Soeharto lengser, ia digantikan oleh Habibie, dari sinilah babak baru sejarah yang dikenal dengan sebutan “Reformasi” dimulai.

Namun, Habibie yang saat itu menggantikan Soeharto untuk menjadi presiden RI, dianggap sebagai krooni dari Orde Baru, sehingga gelombang demonstrasi masih terus berlanjut. Mahasiswa menolak Habibie sebagai preseden RI. Puncak dari ketegangan yang terjadi adalah pada saat siding istimewa MPR berlangsung. Pada saat itu, mahasiswa terus menembus batas perlindungan MPR yang telah ditetapkan. Sehingga bentrok antara mahasiswa dan aparat militer terus memakan korban. Bahkan, tak sedikit mahasiswa yang gugur karena menjadi korban tajamnya peluru aparat keamanan yang ada.

Merasa tak puas, mahasiswa terus turun ke jalan, untuk menyerukan suaranya agar pemerintah mengadili Soeharto beserta kroninya, yang telah merugikan bangsa Indonesia. Kerusuhan-kerusuhan dan bentrokan-bentrokan yang memakan korban jiwa terus terjadi antara mahasiswa dan aparat keamanan, bahkan mahasiswa dianggap sebagai musuh negara yang sulit untuk dijinakkan. Hingga pada tanggal 17 Desember 1998, tragedy yang telah banyak menelan korban jiwa bahkan meresahkan warga berakhir.

Film documenter ini lebih banyak menceritakan tragedy kerusuhan di Jakarta pada tahun 1998 secara kronologis. Mulai dari peristiwa penembakan mahasiswa yang terjadi di Trisakti, lengsernya Soeharto, hingga tragedy Semanggi dan siding istimewa MPR.

Bahasa dari segi gambar film documenter yang pernah menjuarai  ASIA FASIFIC FILM FESTIVAL terbilang bagus, karena mudah untuk dimengerti. Tetapi pernyataan dari narasumber-narasumber yang ada kurang jelas dan mendalam terhadap tema. Karena pembuat film hanya menyorot pada sudut pandang mahasiswa, sedangkan ia tak menampilkan sudut pandang dari aparat militer yang ada pada saat itu.

Film ini dapat menjawab rasa keingintahuan dari penonton yang ingin mencari tahu tentang hal-hal yang terjadi selama kerusuhan tahun 1998 terjadi. Mulai dari awal terjadinya kerusuhan, puncak kerusuhan, hingga berakhirnya kerusuhan tersebut.

RESENSI FILM cin(T)a



Resensi Film Cin(T)a



PRODUKSI : Moonbeam Creation dan Sembilan Matahari Film, 
PRODUSER : M.Adi Panuntun, M.Budi Sasono, 
EXECUTIVE PRODUSER : Roland Samosir, Kathleen Lee,
DIRECTOR : Sammaria Simanjuntak,
PEMAIN : Sunny Soon, Saira Jihan



Sebuah film yang digarap komunitas indie. Menyentuh persoalan yang cukup sensitif, namun dikemas secara humanis. Menyuarakan toleransi dan perdamaian yang indah. 

Bandung, Agustus 2000. Cina (Sunny Soon) berhasil masuk sebagai mahasiswa jurusan Arsitektur di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Kehidupan ekonomi keluarganya kurang dari cukup sehingga memaksanya untuk berusaha mencari pekerjaan sampingan sebagai pegawai refleksi di Healthy Spa dan mendaftarkan beasiswa untuk menambah uang sakunya. Sesuai dengan namanya, Cina berasal dari suku tionghoa yang tinggal di daerah Sumatera Utara. Dia bercita-cita untuk menjadi seorang Gubernur Tapanuli ketika kelak Tapanuli berdiri sendiri menjadi sebuah provinsi.

Selama menjalani orientasi mahasiswa baru, Cina bertemu dengan seorang wanita cantik yang berprofesi sebagai bintang film dan sekaligus seniornya di kampus. Dialah Annisa (Saira Jihan), mahasiswi tingkat akhir yang kuliahnya terhambat karena kariernya di dunia film.

Sudah tiga kali tugas akhir Cina ditolak Annisa, lantaran karyanya kurang sempurna dan jauh dari yang diharapkan akibat idealisme yang dipegangnya. Masalah tersebut didorong juga karena Annisa masih belum menerima pernikahan kedua Ibunya setelah sepeninggalan Ayah kandungnya. Di kampus, Annisa selalu diperguncing teman-temannya termasuk Cina, karena IP (Indeks Prestasi)nya hanya 2,1 dan tugas akhirnya yang bermasalah.

Annisa dan Cina selalu bertemu di waktu dan tempat yang tak terduga. Cina pun tertarik dengan desain rancangan Tugas Akhir Annisa yang selalu ditolak oleh dosennya dan Cina pun bersedia membantu Annisa untuk menyelesaikannya. Dari situ lah pertemuan mereka semakin sering dan hubungan mereka semakin dekat.

Dalam Film ini, sutradara Sammaria Simanjuntak, mencoba menyorot kehidupan religi masing-masing karakter. Cina yang rajin pergi ke gereja dan Annisa, seorang artis yang tidak pernah meninggalkan sholat.

Kehidupan mereka sehari-hari pun terus bergulir dengan diisi berbagai diskusi mengenai perbedaan agama mereka. Pergulatan pendapat yang dikemas dengan diskusi yang santai dengan tanpa memunculkan konflik. Dari masalah apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan oleh Islam maupun Kristen.

Pada tahun itu, perayaan Idul Fitri dan Natal saling berdekatan. Sebagai dua orang sahabat yang saling toleransi, Cina membantu Annisa membuat ketupat pada saat Idul Fitri, dan begitu pun sebaliknya, Annisa membantu Cina menghias pohon Natal.

Bersama dengan penulis naskah Sally Anom Sari, Sammaria merancang karakter, setting, dan dialog yang sederhana dan mengusik kesadaran masyarakat penuh warna di Indonesia. Dialog-dialog yang dipakai dalam  film ini terbilang cukup berat dan masih bersentuhan dengan agama. Ini terlihat pada dialog antara Cina dan Annisa mengenai siapa pendamping mereka kelak. Annisa sudah dijodohkan Ibunya dengan seorang keturunan beragama Islam. Sedangkan Cina ingin istrinya kelak mencintai Tuhannya lebih dari dirinya.

Rasa emosi kemudian muncul ketika Cina dan Annisa memperdebatkan masalah pengeboman gereja-gereja di Indonesia pada Hari Natal. Cina memutuskan untuk mengambil beasiswanya dan pergi ke Singapura. Cina merasa kehadirannya sebagai orang Kristen tidak akan diterima di Indonesia apalagi bila menjadi seorang pemimpin, karena dia menyadari bahwa mayoritas orang Indonesia adalah muslim.

Sammaria, mencoba menghadirkan warna Indonesia dengan menyisipkan simbol-simbol yang berkaitan dengan nasionalisme dalam filmnya. Lihatlah,  ada bendera Indonesia, Burung Garuda yang merupakan lambang Negara Indonesia, ciri kebudayaannya Indonesia lainnya seperti boneka wayang dan adat istiadat pre-wedding suku Jawa yang digambarkan pada saat Annisa melakukan prosesi mandi kembang sebelum menikah.

Film ini pun dikemas secara kreatif di mana beberapa scene testimoni dari beberapa pasangan suami istri yang berbeda agama yang menjelaskan keharmonisan mereka walaupun hidup dengan memegang keyakinan masing-masing.

Dalam pengemasannya, Sammaria menggunakan dua konsep sinematorafi. Pertama, mengingat keberadaan Tuhan sangat subjektif pada setiap orang, Sammaria meletakkan penonton pada ‘sudut pandang Tuhan’. Huruf T yang terselip di antara kata Cin(T)a, yang jadi judul film, merujuk pada Tuhan.

Reaksi penonton pada film mencerminkan persepsi penonton itu sendiri tentang Tuhan. Kedua, Sammaria menggunakan konsep ‘dunia hanya milik berdua, yang lain di off-frame’. Karena ketika kita jatuh cinta, dunia serasa milik berdua. Ini terlihat dari awal hingg akhir, peran dan dialog hanya dilakukan oleh Cina (Sunny Soon) dan Annisa (Saira Jihan), walaupun ada juga dialog dari pemeran lain tetapi mereka tidak diperlihatkan atau ada suara tapi tak diperlihatkan wajahnya.

Sammaria lagi-lagi mampu membawa pesan damai, ketimbang memperdebatkan konflik horizontal yang tak pernah berujung, ia berhasil membangun sebuah pesan perdamaian, yang selama ini diidam-idamkan.

Sammaria mengharapkan, dengan film ini, segala konflik horizontal dan perbedaan agama di Indonesia dapat diselesaikan dengan tenang dan damai, bukannya dengan kekerasan sehingga bisa didiskusikan dengan baik.