Judul
: China Benteng – A Poetry
Di
Tangerang ada sekelompok etnis yang dapat dikatakan menarik yaitu etnis Cina
Benteng. persebaran Cina Benteng di Tangerang cukup banyak, seperti di Mauk,
Neglasari, Karawaci dan tempat lainnya. Yang paling menonjol adalah masyrakat
Cina Benteng yang tinggal di tepi sungai Cisadane. Umumnya, mereka memiliki
kulit sawo matang atau gelap, mata tidak terlalu sipit, tidak bisa berbahasa
Cina dan perekonomian yang kurang memadai dibandingkan dengan etnis Tionghoa
yang lain yang ada di Indonesia.
Warga Cina
Benteng dikenal hidup sebagai petani, pedagang, peternak, nelayan. Sebagian
bersuami/istri penduduk asli dari Indonesia, sehingga tradisi mereka telah
berakulturasi dengan tradisi kaum Pribumi, tak terkecuali dalam bidang kesenian
seperti cokek dan gambang kromong.
Kini,
tanpa kita sadari keberadaan warga Cina Benteng seringkali tersingkirkan dari
kehidupan hiruk pikuk kota Tangerang. Padahal, banyak hal yang dapat
dibanggakan dari keturunan Etnis Tionghoa ini. Mereka tetap melestarikan budaya
leluhur dan tradisi Tiongkok. Kehadirannya dapat dijumpai dengan “meja abu”
yang terletak di dalam rumah masing-masing, dimana para anggota dapat
menjalankan ritual penghormatan kepada arwah keluarga yang sudah meninggal.
Selain itu, upacara pesta perkawinan pasangan Cina Benteng dilakukan sebanyak
dua kali. Pesta tersebut dibedakan berdasarkan perbedaan makanan yang
disajikan. Bagi non-Muslim biasanya disajikan babi panggang Tangerang dan
minuman Bir. Pada pesta perkawinan juga dimeriahkan dengan musik Gambang
Keromong dengan lagu-lagu favorit seperti : Cinte manis berdiri, pecah
piring, semar gurem dan onde-onde, dsb. Disertai pula tarian Cokek yang
umumnya datang dari daerah sekita Krawang yang dianggap belum “afdol” jika
tidak ada penari cokek yang terlihat sensual itu
1.
Peh Cun.
Warga
Cina Tangerang masih merayakan tradisi Peh Cun diisi dengan perlombaan perahu
naga di Sungai Cisadane yang membentang tenang. Peh Cun merupakan sebuah
tradisi yang diadakan sejak tahun 1911 di Indonesia yang sempat terhenti pada
tahun 1965 akibat geger politik.
Perayaan Cap Go Meh menjadi ciri
khas warga Tangerang yang dirayakan sebagai upaya pengenalan keagamaan dan
keyakinan Warga Tiongjoa terhadap budaya Tiongkok yang sudah dilaksanakan
secara turun temurun.
Bertempat di Klenteng Boen Tek Bio,
yang berada di Jalan Bakti No.14 Kawasan Pasar Lama, Tangerang, acara
dimeriahkan dengan ttarian Barongsai yang lucu dan energik, tarian liong yang
meliuk-liuk diiringi tabuhan genderang, serta perpaduan suara gong dan
gemerincing yang menambah kemeriahan acara tersebut.
2.
Cio Tao
Cio
Tao merupakan pernikahan berdasarkan adat di kebudayaan masyarakat Chinese.
Biasanya kegiatan Cio Tao ini diadakan di rumah pengantin masing-masing di pagi
hari, sepagi mungkin. Mengapa? Karena konon, aapabila melakukan adat ini di
siang hari, rezeki untuk pengantin itu bisa habis.. Oleh karena itu, Cio Tao
harus dilakukan pagi hari.
Di
dalam kegiatan Cio Tao ada beberapa ritual yang dilakukan. Seperti contohnya
sembahyang, menginjak nampan yang berwarna merah dan bergambar Yin dan Yang,
menyisir rambut, sawer uang, dan masih banyak lagi. Berikut ini akan saya bahas
satu per satu.
Pertama-tama
biasanya orang tua dari mempelai akan melakukan sembahyang terhadap leluhur,
kemudian dilanjutkan dengan penuangan arak sebanyak 3 kali ke lantai.
Setelah
orang tua mempelai yang melakukan sembahyang, barulah si mempelai yang
melakukan sembahyang kepada leluhur.
Setelah
itu pengantin akan dibawa masuk dan diminta untuk duduk di sebuah kursi dengan
kakinya berada di dalam sebuah nampah. Nampah yang berwarna merah dan terdapat gambar
Yin dan Yang. Ketika pengantin menginjak nenampah itu, dilarang menggeser
nenampah itu sama sekali.
Setelah
itu ada seorang anak kecil dari pihak pengantin, yang dinamakan secek. Secek
ini diminta untuk menyisir rambut pengantin dari bawah kepala sampai ke kaki.
Konon katanya mengapa harus disisir sampai ke kaki? Agar suatu saat dalam
menjalani bahtera rumah tangga, apabila ada cekcok sedikit bisa langsung
diluruskan saja dengan baik-baik.
Setelah
itu pengantin akan duduk bersama secek dan memakan semangkuk nasi dengan 12
macam lauk pauk yang berbeda menggunakan sumpit.
Nah,
sehabis sesi makan nasi dengan 12 lauk pauk ini, dilanjutkan dengan memakan
nasi dengan gula, nah pas makan gnasi cocol gula ini disuapin sama orang tua
masing-masing mempelai. Mungkin hal ini dimaksudkan agar nanti selama menjalani
bahtera rumah tangga manis-manis terus jalannya seperti gula..
Selanjutnya,
dilanjutkan dengan acara saweran.. Pengantin akan berjalan berdampingan melalui
pintu masuk, kemudian orang yang paling tua disana akan melemparkan uang receh,
nah barang siapa orang yang bisa mengambil uang recehnya, itu menjadi hak
mereka. Konon, uang itu lebih baik agar tidak dibelanjakan, karena bisa
mendatangkan hoki.
Kemudian,
pengantin akan saling suap-menyuapi semangkuk onde. Onde makanan yang terbuat
dari sagu dan tepung terigu, dilengkapi dnegan gula cair hingga rasanya manis.
Acara
yang terakhir adalah pengantin akan bersembahyang kepada leluhur secara
bersama-sama atau berdampingan. Nah,
dengan menjalani beberapa ritual Cio Tao tersebut, secara adat mereka sudah
dianggap sah sebagai suami istri.
3.
Anak Wayang
Tari
Cokek termasuk jenis tari-tarian yang lazim dipertunjukan masyarakat Banten di
kawasan Tangerang. Tarian Cokek pertama kali diperkenalkan seorang tuan
tanah keturunan Tionghoa, Tan Sio Kek. Menurut kisahnya, Tan Sio Kek kerap
menyelenggarakan pesta di kediamannya dan mengundang orang para musisi dari
daratan Cina dengan membawa alat musik dari negara asalnya.
Alat
musik yang dimainkan musisi dari Cina yakni Rebab Dua Dawai, selain itu ketiga
musisi itu memainkan alat tradisional Tangerang seperti Seruling, Gong dan
kendang. Untuk meramaikan suasana, Tan Sio Kek menampilkan tiga perempuan
menari mengikuti alunan musik dari para musisi. Para tamu yang menghadiri pesta
itu menyebut penari-penari sebagai Cokek. Namun, ada meyakini Cokek itu nama
dari salah satu anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itu masyarakat Tangerang,
Banten mulai kenal Tari Cokek.
Tarian
Cokek biasanya dimainkan oleh sepuluh orang penari wanita, dan tujuh orang
laki-laki pemegang gamang kromong, alat musik yang mengiringinya. Tari Cokek
merupakan jenis tarian khas yang berasal dari daerah Tangerang yang pada
awalnya berkembang di daerah betawi. Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya
dimainkan sebagai pertunjukkan hiburan saat warga Cina benteng menyelenggarakan
acara, khususnya acara pernikahan. Oleh warga Tionghoa di Tangerang, Tari Cokek
disebut sebagai tari penyambutan tamu.
Keunikan
Tari Cokek terlihat pada gerakan tubuh penarinya yang bergerak perlahan-lahan
sehingga mudah untuk diikuti oleh penonton. Gerakan tarian tari Cokek ini
kemudian akan dilanjutkan dengan ajakan pada para penonton untuk ikut bergabung
menari. Ajakan pada para penonton itu dilakukan dengan cara mengalungkan
selendang ke leher sambil menariknya maju ke depan atau ke panggung.
Ajakan
itu umumnya ditujukan kepada pemuka masyarakat atau orang kaya yang hadir pada
acara itu. Proses menari bersama ini dilakukan berdekatan antara penari dengan
penonton, tetapi tidak saling bersentuhan.
Tak dapat dipungkiri, Cina Benteng
memiliki banyak budaya dan tradisi, tetapi sering kali terlupakan, bahkan oleh
warga Tionghoa sendiri. Sehingga dengan film ini, diharapkan masyrakat dapat
lebih mengenal sebagian kecil dari budaya Cina Benteng yang masih ada di
Indonesia hingga saat ini.