Resensi Film Cin(T)a
PRODUKSI : Moonbeam Creation dan Sembilan Matahari Film,
PRODUSER : M.Adi Panuntun, M.Budi Sasono,
EXECUTIVE PRODUSER :
Roland Samosir, Kathleen Lee,
DIRECTOR : Sammaria Simanjuntak,
PEMAIN : Sunny Soon, Saira Jihan
Sebuah film yang digarap komunitas
indie. Menyentuh persoalan yang cukup sensitif, namun dikemas secara humanis.
Menyuarakan toleransi dan perdamaian yang indah.
Bandung, Agustus 2000. Cina (Sunny
Soon) berhasil masuk sebagai mahasiswa jurusan Arsitektur di salah satu
Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Kehidupan ekonomi keluarganya kurang dari
cukup sehingga memaksanya untuk berusaha mencari pekerjaan sampingan
sebagai pegawai refleksi di Healthy Spa dan mendaftarkan beasiswa untuk
menambah uang sakunya. Sesuai dengan namanya, Cina berasal dari suku tionghoa
yang tinggal di daerah Sumatera Utara. Dia bercita-cita untuk menjadi seorang
Gubernur Tapanuli ketika kelak Tapanuli berdiri sendiri menjadi sebuah
provinsi.
Selama menjalani orientasi mahasiswa
baru, Cina bertemu dengan seorang wanita cantik yang berprofesi sebagai bintang
film dan sekaligus seniornya di kampus. Dialah Annisa (Saira Jihan), mahasiswi
tingkat akhir yang kuliahnya terhambat karena kariernya di dunia film.
Sudah tiga kali tugas akhir Cina
ditolak Annisa, lantaran karyanya kurang sempurna dan jauh dari yang diharapkan
akibat idealisme yang dipegangnya. Masalah tersebut didorong juga karena Annisa
masih belum menerima pernikahan kedua Ibunya setelah sepeninggalan Ayah
kandungnya. Di kampus, Annisa selalu diperguncing teman-temannya termasuk Cina,
karena IP (Indeks Prestasi)nya hanya 2,1 dan tugas akhirnya yang bermasalah.
Annisa dan Cina selalu bertemu di
waktu dan tempat yang tak terduga. Cina pun tertarik dengan desain rancangan
Tugas Akhir Annisa yang selalu ditolak oleh dosennya dan Cina pun bersedia
membantu Annisa untuk menyelesaikannya. Dari situ lah pertemuan mereka semakin
sering dan hubungan mereka semakin dekat.
Dalam Film ini, sutradara Sammaria Simanjuntak,
mencoba menyorot kehidupan religi masing-masing karakter. Cina yang rajin pergi
ke gereja dan Annisa, seorang artis yang tidak pernah meninggalkan sholat.
Kehidupan mereka sehari-hari pun
terus bergulir dengan diisi berbagai diskusi mengenai perbedaan agama mereka.
Pergulatan pendapat yang dikemas dengan diskusi yang santai dengan tanpa
memunculkan konflik. Dari masalah apa yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan oleh Islam maupun Kristen.
Pada tahun itu, perayaan Idul Fitri
dan Natal saling berdekatan. Sebagai dua orang sahabat yang saling toleransi,
Cina membantu Annisa membuat ketupat pada saat Idul Fitri, dan begitu pun
sebaliknya, Annisa membantu Cina menghias pohon Natal.
Bersama dengan penulis naskah Sally
Anom Sari, Sammaria merancang karakter, setting, dan dialog yang
sederhana dan mengusik kesadaran masyarakat penuh warna di Indonesia.
Dialog-dialog yang dipakai dalam film ini terbilang cukup berat dan masih
bersentuhan dengan agama. Ini terlihat pada dialog antara Cina dan Annisa
mengenai siapa pendamping mereka kelak. Annisa sudah dijodohkan Ibunya dengan
seorang keturunan beragama Islam. Sedangkan Cina ingin istrinya kelak mencintai
Tuhannya lebih dari dirinya.
Rasa emosi kemudian muncul ketika
Cina dan Annisa memperdebatkan masalah pengeboman gereja-gereja di Indonesia
pada Hari Natal. Cina memutuskan untuk mengambil beasiswanya dan pergi ke
Singapura. Cina merasa kehadirannya sebagai orang Kristen tidak akan diterima
di Indonesia apalagi bila menjadi seorang pemimpin, karena dia menyadari bahwa
mayoritas orang Indonesia adalah muslim.
Sammaria, mencoba menghadirkan warna
Indonesia dengan menyisipkan simbol-simbol yang berkaitan dengan nasionalisme
dalam filmnya. Lihatlah, ada bendera Indonesia, Burung Garuda yang
merupakan lambang Negara Indonesia, ciri kebudayaannya Indonesia lainnya
seperti boneka wayang dan adat istiadat pre-wedding suku Jawa yang
digambarkan pada saat Annisa melakukan prosesi mandi kembang sebelum menikah.
Film ini pun dikemas secara kreatif
di mana beberapa scene testimoni dari beberapa pasangan suami istri yang
berbeda agama yang menjelaskan keharmonisan mereka walaupun hidup dengan
memegang keyakinan masing-masing.
Dalam pengemasannya, Sammaria
menggunakan dua konsep sinematorafi. Pertama, mengingat keberadaan Tuhan sangat
subjektif pada setiap orang, Sammaria meletakkan penonton pada ‘sudut pandang
Tuhan’. Huruf T yang terselip di antara kata Cin(T)a, yang jadi judul film,
merujuk pada Tuhan.
Reaksi penonton pada film
mencerminkan persepsi penonton itu sendiri tentang Tuhan. Kedua, Sammaria
menggunakan konsep ‘dunia hanya milik berdua, yang lain di off-frame’. Karena
ketika kita jatuh cinta, dunia serasa milik berdua. Ini terlihat dari awal
hingg akhir, peran dan dialog hanya dilakukan oleh Cina (Sunny Soon) dan Annisa
(Saira Jihan), walaupun ada juga dialog dari pemeran lain tetapi mereka tidak
diperlihatkan atau ada suara tapi tak diperlihatkan wajahnya.
Sammaria lagi-lagi mampu membawa
pesan damai, ketimbang memperdebatkan konflik horizontal yang tak pernah
berujung, ia berhasil membangun sebuah pesan perdamaian, yang selama ini
diidam-idamkan.
Sammaria mengharapkan, dengan film ini, segala konflik
horizontal dan perbedaan agama di Indonesia dapat diselesaikan dengan tenang
dan damai, bukannya dengan kekerasan sehingga bisa didiskusikan dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar